Berita Sekolah

Ekskursi Kebinekaan: Kisah Nyata Sekolah Merajut Toleransi Sejak Dini
Gelombang intoleransi yang menguat dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia menemukan penawar terbaiknya: aksi nyata di ruang-ruang pendidikan. Sebuah video liputan berita baru-baru ini menyoroti inisiatif pendidikan yang sangat "menenangkan hati," di mana sekolah-sekolah mengambil langkah proaktif untuk merayakan perbedaan, alih-alih menjadikannya sebagai ancaman. Inti dari laporan ini adalah program "Ekskursi Kebinekaan" yang digagas oleh SMA Katolik Santo Yakobus di Jakarta. Pada akhir Oktober lalu, sebanyak 114 siswa-siswi sekolah tersebut melakukan perjalanan yang luar biasa ke Ciamis, Jawa Barat. Kunjungan ini bukan sekadar study tour biasa, melainkan sebuah pertukaran budaya dan spiritual yang mendalam. Para siswa SMA Katolik tersebut, misalnya, berpartisipasi dalam Kuliah Subuh di Pondok Pesantren Darussalam. Sebagai bentuk penghormatan, para siswi bahkan mengenakan batik panjang dan jilbab saat mengikuti kegiatan. Setelah itu, rombongan melanjutkan kunjungan ke Pondok Pesantren Miftahul Ulum di hari berikutnya dengan program "Live In," di mana mereka disambut hangat oleh para santri dengan iring-iringan gendang, menumbuhkan vibe persahabatan yang kental. Kegiatan ini bahkan mencakup latihan pencak silat Pagar Nusa. Para pimpinan pesantren menyambut penuh antusias kegiatan ini, menegaskan bahwa dialog dan kegiatan semacam ini adalah fondasi penting untuk menyambung hubungan antar pemuda Indonesia tanpa sekat agama. Gerakan yang Menyebar dan Berakar Sejak SD Fenomena ini tidak terbatas di tingkat SMA. Pendidikan toleransi ternyata sudah berakar kuat di tingkat sekolah dasar. Laporan tersebut menyebutkan beberapa contoh inspiratif lain: SD Islam Arrahman di Jombang yang mengunjungi SD Kristen untuk memahami praktik ibadah agama lain. SD Strada di Tangerang yang mengadakan wisata ke berbagai rumah ibadah, termasuk Masjid, Gereja, Wihara, dan Kelenteng, sebagai upaya nyata mengenal semua keyakinan di Indonesia. Pengalaman ini didukung pula oleh cerita pribadi narasumber tentang anaknya yang bersekolah di Madania, sebuah sekolah yang didirikan oleh tokoh Islam terkemuka, Nur Kholis Majid, yang konsisten memperjuangkan pluralisme. Melalui program "Mengenal Agama Lain," anak-anak diajarkan tentang Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu secara setara, memastikan mereka melihat keberagaman bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan. Tantangan Kurikulum dan Pengajar Laporan ini juga menyoroti bahwa inisiatif di sekolah sejalan dengan langkah maju pemerintah. Rencana Prof. Nasaruddin Umar, Menteri Agama, untuk memasukkan pengajaran keberagaman dalam kurikulum pendidikan agama disambut positif. Namun, tantangannya terletak pada implementasi. Narasumber mengingatkan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada toleransi pengajar. Kurikulum yang baik akan sia-sia jika dieksekusi oleh guru yang justru mengajarkan perbedaan sebagai sumber konflik—suatu fenomena yang disayangkan terjadi di sejumlah lembaga pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk tidak hanya mengubah kurikulum, tetapi juga menyediakan pelatihan (training) yang komprehensif bagi para guru agama. Aksi-aksi lokal seperti yang dilakukan SMA Santo Yakobus dan pesantren-pesantren di Ciamis adalah cerminan dari semangat "Kita Berbeda, Kita Bersaudara, Kita Indonesia." Kisah-kisah ini menjadi harapan agar keberanian merangkul perbedaan terus berlanjut, didukung oleh kebijakan pusat, dan menjadi norma di setiap institusi pendidikan.
2 menit baca•Edisi Perdana · Diverifikasi MPK · Baru
Sumpah Pemuda di Tengah Kebinekaan: Ketika Siswa Katolik Menyatu dengan Kehidupan Pesantren
Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober) tahun ini dimaknai dengan cara yang mendalam dan inspiratif oleh ratusan siswa SMA Santo Yakobus Jakarta. Momen bersejarah ini dimanfaatkan bukan dengan upacara biasa, melainkan dengan menggelar program Ekskursi Kebinekaan ke dua lembaga pendidikan Islam di Jawa Barat: Pondok Pesantren Darussalam dan Pesantren Miftahul Ulum. Program ini menjadi wujud nyata perwujudan Sumpah Pemuda yang mengukuhkan persatuan di tengah keragaman. Selama kegiatan berlangsung, siswa-siswi Santo Yakobus berkesempatan menjalani kehidupan sehari-hari bersama para santri. Mereka ikut serta dalam berbagai aktivitas, mulai dari kegiatan keagamaan dan pembelajaran di kelas hingga momen santai seperti makan bersama dan kegiatan non-akademik lainnya. Sambutan Hangat dan Harapan Abadi Momen paling mengharukan terekam saat kedatangan rombongan siswa Santo Yakobus. Para santri menyambut kedatangan mereka dengan hangat, berbaris di sepanjang gerbang pesantren dan menciptakan suasana persahabatan yang kental. Acara puncak dilanjutkan dengan upacara bendera peringatan Hari Sumpah Pemuda. Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam menyampaikan pesan yang tegas dan menyentuh tentang makna persaudaraan: "Satu kehormatan bagi keluarga besar Pondok Pesantren Darussalam untuk mengukuhkan tali persaudaraan, persahabatan, pertemanan antar umat beragama. Dan ini mudah-mudahan menjadi contoh untuk lebih menciptakan kedamaian, persahabatan sejati, persaudaraan abadi di antara kita umat beragama di Indonesia. Dan itu menjadi karakter bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan persahabatan, persaudaraan, pertemanan, kedamaian." Kebinekaan dalam Identitas Bangsa Pihak sekolah penyelenggara, SMA Santo Yakobus, menjelaskan filosofi di balik program ekskursi ini. Bagi mereka, Ekskursi Kebinekaan adalah pengalaman berharga dalam menjalin persahabatan lintas iman dan memperkuat semangat kebangsaan. "Kami berharap bahwa lewat program ini kami bisa mengajak anak-anak kami untuk bisa memaknai realitas kebinekaan yang ada di Indonesia. Meskipun berbeda iman, berbeda agama, tapi kami ingin mengajak anak-anak kami untuk melihat ada satu kesamaan di antara mereka, yaitu identitas sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia." Pesan ini sangat kuat, menegaskan bahwa perbedaan agama tidak seharusnya memisahkan, melainkan menjadi fondasi bersama untuk mengukuhkan identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Rangkaian kegiatan ekskursi 114 siswa Santo Yakobus Jakarta ditutup dengan pagelaran kesenian yang berbau lintas budaya di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, merayakan keberagaman dalam semangat sebangsa. Seluruh inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana institusi pendidikan dapat menjadi pionir dalam menanamkan nilai-nilai Sumpah Pemuda, yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, dengan cara yang paling inklusif dan membumi.
2 menit baca•Edisi Perdana · Diverifikasi MPK · Baru